Minggu, 30 Oktober 2011
BERGANTINYA NAMA JENNY MENJADI FESTIVALIST
Di dalam sebuah studio recording bernama
Rockstar sedang ramai dikunjungi beberapa orang
yang sibuk didepan layar laptop,ada yang sedang
menghabiskan malam dengan secangkir kopi di sebuah
meja kaca bundar sembari ditemani tembakau.
Roby Setiawan sedang duduk dengan menyembunyikan
kedua matanya dibalik kaca mata bulat ala John
Lennon sembari bermain kartu ditemani sebatang
rokok. Sedangkan Farid Stevy Asta menyaksikannya
sambil bercengkrama dengan beberapa pengunjung
lainnya. Mereka adalah yang tersisa dari Jenny. Band
bentukan lulusan Institut Seni Indonesia yang sudah
kehilangan dua anggota lainnya.
Jenny adalah salah satu pioner band rock dari
kota Yogyakarta. Terdiri dari Farid Stevy Asta (vocal)
Roby Setiawan (guitar) Arjuna Bangsawan (bass guitar)
Anish Setiadji (drum). Mereka merilis Manifesto
debut album mereka di tahun 2009 yang mereka sebut
sebagai album tanpa konsep. dua tahun berselang
Jenny ditinggal oleh Arjuna Bangsawan dan Anis Setiadji.
Menyisakan Farid dan Roby pada tubuh Jenny.
Keduanya bersedia diwawancara di sela-sela
waktu mereka menyelesaikan recording mereka untuk
proyek terbaru mereka Festivalist. Festivalist adalah
perjuangan dari Jenny. Mereka membocorkan bahwa
peralihan nama dari Jenny ke Festivalist bermula dari
sebuah omongan antara Roby dan Farid yang merasa
energi di Jenny sudah berkurang ketika dua anggota
lainnya pergi.
Sebelum wawancara mereka menyaksikan
sebuah acara tentang urutan hewan-hewan terunik.
Yang mereka tonton adalah deretan anjing terunik.
Sambil saling bercanda dengan khas logat Jogja. Tidak
terlihat kelelahan dari badan mereka meskipun sebelumnya
mereka baru saja latihan. Farid kemudian memasuki
studio yang kemudian menjadi lokasi wawancara
dadakan. Malam itu ia menggunakan kaos biru
dengan jeans. Suaranya terdengar pelan dan berat.
Kesan pada dirinya terlihat sebagai sosok yang serius
tapi ketika bersama teman-temannya ia juga menjadi
sosok yang humoris. Dia menunjuk sebuah amplifier
berwarna orange dengan merk Orange Thunder
Everd 200.
Roby adalah sosok yang lebih banyak
bercanda. Beberapa kali ia berusaha menutupi
keningnya,namun hal tersebut justru menjadi bahan
ejekan bagi yang lainnya. Saat ini Festivalist dibantu
oleh Humam Mufid Arifin dan Danish Wisnu Nugraha.
Beberapa kali Mufid dan Danish mengejek Roby
dan hal tersebut ditambahi oleh Farid. Ada saja bahan
lelucon mereka yang berasal dari rambut Roby yang
sepanjang pundak lebih, Mulai dari Yanto Stuck on
You hingga Sebastian Bach tak ketinggalan dua band
nasional pun ikut menjadi bahan ejekan mereka.
Manifesto adalah album pertama mereka dengan nama Jenny. “Kita punya angan-
angan dulu kita bikin album,kita bikin kopi,terus kita jual. Karena kita menghabiskan
banyak uang untuk itu. Benar-benar menabung dari pertama kali kita manggung.
Belum pernah kita bagikan ke anggota kecuali untuk latihan hingga akhirnya terkumpul
untuk bikin album. Kemudia kita beranggapan dari uang yang keluar tersebut
kita dapat refund dari penjualan album tersebut”. Farid membahas tentang penjualan
Manifesto. “Tapi tidak bisa seperti itu pola pikirnya,mind set kita dulu seperti itu. Dulu
kita ingin musik kita didengar secara luas”. Roby menambahi penjelasan Farid. “Pendapatan
kita justru kebanyakan dari manggung”.
Tidak banyak yang berani untuk mengganti nama ketika nama mereka sudah
mendapatkan perhatian dari masyarakat. Nama Jenny sudah amat melekat dalam diri
mereka. Namun beberapa persoalan internal dan berbagai macam lainnya menjadi alasan
mereka. Perubahan nama ini sudah mereka pikirkan selama satu setengan tahun
yang lalu.”Waktu itu Saya dan Roby dipertemukan dengan seorang senior dikampus
kami untuk berkarya tapi bukan dalam konteks lagu melainkan seni rupa”. “Jenny itu
apasih? Salah satu kesimpulannya adalah Festivalist”.
“Hingga akhirnya ada beberapa kejadian. Pertama drummer kita Anis mengundurkan
diri dengan alasan pekerjaan yang kemudian disusul dengan Arjuna Bangsawan
atau Si Mbah mengundurkan diri juga dengan beberapa kepentingan pribadi. Sekarang
Jenny tinggal berdua dari yang semula berempat. Mungkin ada satu sisi dimana pencapaian
kita yang saat ini,Jenny yang sudah sampai segini ini ingin kita persembahkan kepada
mereka berdua juga. Daripada nanti Saya dan Roby salah urus kemudian memudar
dan tiba-tiba hilang kami malah mati,akan jadi berberat hari mempertanggung jawabkannya
kepada teman-teman. Jadi ini kami Festivalist dengan energi yang amat baru”.
Secara simpel Farid menyebutkan “Secara simpel kenapa kami berganti nama,ya kami
hanya bermain-main saja”.
Roby kembali menambahi penjelasan tentang pergantian nama mereka. “Selama
delapan tahun di Jenny itu bukan waktu yang sebentar”. Ucapnya. “ Dengan proses
yang banyak,panggung yang banyak juga. Ketemu teman, kehilangan teman. Jadi
ketika kedua teman kami di Jenny terdahulu harus mengundurkan diri, energi Saya
sebenarnya turun”. Jenny sudah ada sejak delapan tahun yang lalu. “Nama itu harus
diganti, Saya butuh energi baru,kami butuh energi baru, dan nama itu bukan Jenny tapi
Festivalist”.
Penggunaan nama Festivalist bisa dibilang adalah nama yang amat diluar
perkiraan. “Sepertinya kami dilahirkan dari sebuah budaya yang bernama festival. Tapi
bukan berarti kami ikut festival teknik kemudian juara satu atau juara dua, tapi festival
apapun. Festival itu kan artinya luas”, ucap Roby. “Dan Jenny juga lahir dan dibesarkan
oleh panggung dan hal-hal semacam itu. Perayaan dan pertunjukan. Dan kami namakan
sebuah festival dan kita adalah orang-orang yang terlibat didalam festival yang
memang berkecimpung didalam situ.”
Seminggu sebelum wawancara ini,telah digelar sebuah acara dengan nama
Block Party,dimana acara tersebut adalah gagasan dari beberapa orang dari Rockstar
Studio dengan waktu dari pagi sampai malam dengan pengisi acara lebih dari 60 band
dengan lima titik panggung yang berbeda. Malam itu Festivalist juga berkesempatan
tampil. Hal itu mereka manfaatkan untuk bikin presentasi perubahan Jenny menjadi
Festivalist dengan tema ‘Melihat Festivalist,Mendengar Jenny’. “Dengan pengertian sederhana
kalian datang mendengarkan lagu-lagu Jenny, dimainkan oleh orang-orang
Jenny, tapi yang anda lihat adalah Festivalist”. Farid menjelaskan sambil duduk diatas
amplifier.
Photo by Andi Fitriono Photo by doc
www.houtskools.com www.houtskools.com
BAND INTERVIEW 30
BAND INTERVIEW 31
Festivalist tampil malam itu dengan membawa kain
putih besar seukuran panggung dengan tulisan
‘FSTVLST’. Mereka bermain dibelakang kain dengan
lampu dimatikan dan hanya dua lampu dibelakang
mereka dinyalakan, sehingga apa yang dilihat oleh
penonton adalah siluet mereka. “Cukup aneh juga
sebenarnya,karena kita dibelakang kain penasaran ini
ada yang nonton atau enggak”. “Tim produksi kami
sudah menyiapkan sebuah sistem ketika tali ditarik
maka kain itu akan turun,tapi karena kesalahan sistem
jadi ketika ditarik kainnya jadi nyangkut”. Penjelasan
dari Farid ini kemudian dilanjut dengan tawa
dari lainnya. “Tapi hasilnya jadi bagus,kemudian kita
lanjut main tanpa kain di lagu selanjutnya”.
Banyak penggemar mereka yang bertanyatanya
perihal kenapa Jenny berganti nama menjadi
Festivalist. Festivalist berencana akan mengeluarkan
beberapa manifesto dimana akan menjelaskan perihal
pergantian nama mereka. “Kalau sekarang ditanyain
‘mas,kenapa ganti nama?’ dijawab ‘Iya’ ditambah tanda
smiley”. Penjelasan ini merunut dengan banyaknya
pertanyaan yang sama di setiap situs jejaring sosial
yang mereka miliki.
Keyakinan mereka untuk berganti nama dianggap
sebagai sesuatu hal yang sensitif. Pergantian
nama juga baik langsung tidak langsung akan berpengaruh
terhadap tanggapan dari penggemar mereka.
Hal ini menjadi pembahasan serius diantara Roby
dan Farid serta Manajemen. “Kita bertaruh berganti
nama dan konsekuensinya kita harus mundur beberapa
langkah untuk memulai lagi memperkenalkan
nama barunya dan mengorbankan nama lama
yang sudah dipertahankan selama delapan tahun”.
Suara Farid terdengar amat berat “Tapi ketika
ditanyakan Sayang atau tidak,ternyata kami dari
dulu tidak terlalu kesitu. Bermain band itu tidak
untuk membesarkan nama band itu atau mencari
popularitas dan kita percaya yang menyelamatkan
kita sekarang salah satunya adalah konsepsi dimana
kita meniadakan tendensi-tendesi yang bersifat seperti
itu didalam band kami”. “Sebenarnya yang menjadi
beban itu justru dari pihak penyelenggara acara
mungkin”. Kata Roby. “Ada yang berkata Jenny tetap
di hati Saya,tapi bukan berarti Festivalist enggak”.
“Band ini dari apa yang kita lakukan ternyata
memang selalu berada disuatu wilayah yang dimana
menurut kami menjauh dari hal yang pragmatis,yang
kami pikir gak seru. Ketika dulu teman-teman heboh
dengan istilah indie. Kita gak kemudian berpikir
bahwa kita ini indie. Atau ketika kemudian muncul
istilah cutting edge kita justru berpikir ‘Apa sih?’”.
“Ketika ada pola dan kalian masuk ke dalam
pola ini kita selalu gak gumuman,kita santai bikin
karya dan seneng. Menurut kami membesarkan nama
itu semacam cari popularitas juga. Ketika kalian takut
mengganti nama karena popularitas itu sudah
pragmatis sekali,udah kotor. Dan kami tidak di polapola
seperti itu. Nama ganti kenapa enggak. Besok
dua bulan lagi ganti nama yang gak papa,bebaslah.
Kalau dibalikin lagi ngeband itu buat apa sih? Ya
,buat seneng-seneng saja”. Selanjutnya yang diakui
yang mereka rasa cukup rugi adalah bahwa mereka
sudah memproduksi sticker lumayan banyak. Mereka
bercerita dimalam pergantian nama dimana Roby
dan Farid bertemu dan berbincang selama sepuluh
menit dan kemudian memutuskan berganti nama dan datang ke manajemen mengutarakan keinginan mereka.
Pihak manajemen melemparkan sebuah guyonan
dimana bagaimana bila ada penggemar mereka yang
saat malam itu sedang menatto tubuhnya dengan tulisan
Jenny.
Mereka adalah band yang menolak konsep
antara artis dan fans. Beberapa orang yang menyukai
musik dari Jenny dahulu tergabung dalam Klub Mati
Muda dan Teman Pencerita. “Kami yang diatas panggung
dengan teman-teman yang dibawah panggung
itu hanya akan berbeda ketika dipanggung itu”. Begitu
ucap Farid. “Ketika panggung selesai ya kita kembali
temenan”. Farid menambahi penjelasan perihal terbaginya
basis pengemar mereka. “Dulu kita menolak
pengkastaan itu dengan tidak menyebut mereka sebagai
fans,tapi sebagai Teman Pencerita. Dulu Saya
suka marah kalau ada yang bilang ‘Mas Saya ngefans
sama kamu’ bukan yang seperti ini. Boleh menyukai
bandnya,boleh menyukai musiknya tapi bukan trend
untuk digemari”.
“Bagi kami,Festivalist itu bukan hanya kami
berempat. Saya,Roby,Mufid,dan Danis. Bahkan teman-
teman band yang lain itu juga Festivalist. Kami
Festivalist,kalian juga Festivalist. Jadi sudah tidak ada
lagi mas-mas Festivalist”. Dalam Festivalist ini mereka
melebur penggemar mereka menjadi satu sama dengan
mereka. “Tapi gak tahu kalau Klub Mati Muda.
Yang ini garis keras. Tapi kita gak pernah memproklamirkan
bahwa kami sebuah band dan kami
harus memiliki fans”. “Beberapa orang kami yang
tadinya di Klub Mati Muda sekarang banyak membantu
kami dibelakang. Di Manajemen di Studio dan
lain-lain. Dulu mereka datang pertama kali nonton
Jenny dimana saat itu orang belum mengenal Jenny”.
Salah satu aksi khas dalam Jenny dahulu dan
sekarang Festivalist adalah tradisi meludah satu sama
lain atas nama penghormatan. “Meludahi itu bukan
untuk merendahkan. Saya meludahi kamu karena
Saya kenal sama kamu. Kalau Saya tidak kenal maka
Saya tidak berani meludahi kamu sama saja cari musuh”.
Penggagas tradisi meludah ini yakni Farid menjelaskan
dan kemudian ditambahi Roby bahwa pada
akhirnya juga sempat dapat musuh. Tradisi ini juga
diakui awalnya menyenangkan namun lama kelamaan
menjadi menyusahkan.
Dengan lahirnya Festivalist mereka akan
membuat sebuah album yang mereka tujukan sebagai
pembuktian mereka. Dengan kehadiran Mufid dan
Danis di posisi bass dan gitar mereka sudah memulai
penggarapan album mereka sekitar bulan Juni lalu.
Roby mengakui adanya kehadiran mereka berdua
membutuhkan penyesuaian terhadap referensi mereka
berempat. “Kalau dulu kita tinggal gini-gini karena
sudah tahu karakter masing-masing. Tapi sekarang
lebih kepada penyesuaian dan belajar masing-masing.”
“Kalau ditanya gebrakan dan konsep Saya selalu
ngomong tentang Manifesto. ‘Konsepnya apa sih
Manifesto?’. Kalau misalnya ada sebuah band dan dia
punya album pertama terus dibilang dia punya konsep.
Itu fuck that,omong kosong. Ketika kamu pertama
bikin band ketemu sama player band lain dan
ngomongin konsep terus bikin itu. Itu akan menjadi
artifisial tidak akan menjadi essensial bagi band itu.
Jadi Manifesto itu adalah album tanpa konsep. Konsepnya
adalah mencari identitas kami selama itu.
Disinipun Festivalist akan bikin album yang kita
sendiri belum tahu akan menjadi album kedua atau
album pertama Festivalist. Jadi kalau nanti album ini
Photo by doc
Photo by doc
www.houtskools.com
BAND INTERVIEW 32
sendiri belum tahu akan menjadi album kedua atau
album pertama Festivalist. Jadi kalau nanti album ini
keluar terus ditanya konsep maka Saya gak bisa jawab
konsepnya apa. Kalau Saya bisa jawab konsepnya apa
ya fuck me. Karena menurut Saya omong kosong. We
will see akan bagaimana albumnya nanti”. Penjelasan
konsep dari Farid ketika disinggung mengenai konsep
apa yang akan mereka bawa di album selanjutnya
nanti.
Saat ini Festivalist memiliki sebuah jargon
“Almost Rock, Barely Art”. Mereka mengartikannya
sebagai musik rock yang mendekati seni. Salah satunya
dengan pertunjukan mereka di Block Party yang
mereka sebut sebagai rockshow. Dimana diselipkan
seni rupa dan teater didalam pertunjukan mereka.
Sebelum peluncuran album mereka nantinya mereka
sudah memberikan bocoran sedikit. Melalui dua
single yang telah mereka rilis beberapa saat yang lalu
‘Hari Terakhir Peradaban’ dan ‘Hujan Mata Pisau’.
Saat ini disaat penggarapan album selanjutnya
bassis mereka Mufid mengaku sedang mendengarkan
Jethro Tull, sebuah band dari daratan Britania.
Sementara Danis mengaku tidak sedang mendengarkan
secara khusus sebagai influence selanjutnya.
Roby mengatakan bahwa influence terbesar adalah
gitarnya. “Saya berdua dengan gitar Saya, Saya berada
dikamar dan Saya matiin semua alat elektronik. Setelah
dengan Festivalist Saya hanya merujuk pada dua
single yang sudah dikeluarkan sebelumnya sebagai
influence”. Ucap pria yang mengaku tidak memiliki
akun twitter, dan pemutar mp3, dan komputernya
juga sedang rusak. “Karena kami tidak mendengarkan
apapun jadi banyak yang nge judge ini mirip dengan
ini”.
Farid mendengarkan Yeah Yeah Yeahs,Velvet Underground,
Jessie J, Lenka, dan Adele. “Kalau Saya suka
pasti Saya dengerin, dan kayanya temen-temen ini
kalau dihubungkan disuatu sisi kita dengerin The
Doors tapi di sisi lain mendengarkan yang lain”. Kemudian
ia juga mengaku bahwa Angles dari The
Strokes tidak lebih bagus dari Is This It namun lebih
bagus dari dua album sebelumnya. Kemudian ditambahi
Roby menjelaskan bahwa hanya satu lagu yang
bagus dari keseluruhan album.
Sebelum wawancara berakhir Roby sempat menyenandungkan
sebuah lagu dari Aretha Franklin yang
berjudul ‘Respect’. Kemudian dia sambil bercanda
bercerita bahwa Adele adalah wanita yang sangat
dihormatinya. Komentar Roby di pertanyakan oleh
Danish dan Mufid. “Kenal Aku,orang rumahnya cedhak
kene”. Jawab Roby singkat.
Sebelum pamit kami sempat menanyakan tentang
akan di tulis apa nama Festivalist nanti di edisi
ini. Baik Roby dan Farid sempat berbeda pendapat
dengan keinginan menulis nama dengan ‘FSTVLST’
namun di akhir akhirnya mereka setuju dengan
penulisan nama Festivalist. Apalah arti sebuah
penulisan,pada akhirnya mereka tetaplah sebuah energi
baru yang benar-benar lahir dari kondisi mereka
itu sendiri. Dan energi baru itu bernama Festivalist.
copy-paste of houtsklooks :)
Kamis, 27 Oktober 2011
Rabu, 26 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)